Do The Work

There are lots of productivity advice out there. Various self-help books are becoming very famous. I know there are many people who believe that they are completely useless. That they are selling dreams and empty promises.

I don’t agree. At least, not completely. I agree, though, there are useless books out there. However, I believe that the reason those books are “useless” because people just read them and do nothing about it. While ultimately, the authors of those books, often tell you to do something. To work on it. To work for your success.

Do the work. Even though you are tired. Give it 100%. Be flexible. Is it not the way you accustomed to? Then be flexible, do the work, make it work.

An important ingredient for doing the work is boredom.

And nowadays, being bored seems to be avoided.

If boredom is a necessary ingredient, then portable internet is a disaster for doing the work.

This guy explained it very well – we would do everything to not actually do the work – while doing the work is the ultimate way to go forward. The best productivity advice, indeed.

About priority

Learn to schedule your priorities, not to prioritise your schedule

Naju medhi

During a leadership course led by her, Naju Medhi mentioned this. She did mention that she read this from the book 7 Habits of Highly Effective People by Stephen R. Covey. So probably the citation should go to Stephen R. Covey.

However, Naju brought that sentence in a way that somehow I just cannot forget it.

Pengungsi dari Suriah, Siapa yang Tanggung Jawab?

Ratusan ribu orang berbondong-bondong meninggalkan kampung halamannya di Suriah demi menghindari pertikaian yang sudah sejak lama melanda negara tersebut. Perang saudara, perang antar pendukung Presiden Bashar al-Assad dan seterunya, serta ancaman kekejaman IS menjadi alasan utama mereka untuk pergi mencari peruntungan di negara lain.

Negara tujuan mereka mulai dari negara tetangga seperti Jordan, Lebanon, Turki, dan negara2 Eropa seperti Jerman, Belanda, Hungaria, Swedia, dan sekitarnya.

Penolakan negara Islam untuk menerima pengungsi

Sebagai agama yg dianut oleh mayoritas para pengungsi, Islam, seharusnya bisa menjadi motivasi negara-negara Islam di dunia (atau yang terdekat) untuk berlomba-lomba membantu dan menampung para pengungsi. Tapi ternyata, negara-negara Islam tetangga Suriah justru menutup rapat perbatasan mereka.

Berikut ini adalah beberapa alasannya:

  • Takut akan konflik Sunni dan Syiah
  • Luas negara yang tidak mencukupi
  • Risiko keamanan

Tiga alasan utama ini sebenarnya sama persis dengan masalah yang dihadapi oleh negara-negara Eropa yang saat ini bersedia menerima kedatangan para pengungsi dari Suriah.

Takut akan konflik Sunni dan Syiah.

Kasus kekerasan yang terjadi di tempat pengungsian sementara di Eropa sudah banyak terjadi. Tindakan kekerasan ini banyak terjadi karena perbedaan budaya antara para pengungsi dan penduduk asli. Bahkan juga terjadi antara pengungsi yang beragama Islam (mayoritas) yang tidak mau berada di satu lokasi yang sama dengan pengungsi yang beragama minoritas.

Luas negara yang tidak mencukupi.

Silakan buka peta dunia dan bandingkan luas negara Belanda dan Arab Saudi. Dari situ saja sudah terlihat bahwasanya ini cuman alasan belaka.

Risiko Keamanan

Seperti yang sudah disebut sebelumnya, konflik sudah banyak terjadi di Eropa yang timbul oleh karena ketakutan para penduduk asli dengan kedatangan ribuan pengungsi dari Suriah dan juga karena konflik antar pengungsi tersebut.

Jadi mengapa kekuatan persaudaraan Islam (“ukhuwah islamiyah”) tidak menjadi faktor utama yang (seharusnya) mendorong negara-negara Islam terdekat untuk membantu saudara-saudaranya yang sedang kesusahan? Bukankah negara-negara Arab adalah patokan umat Muslim di dunia ini? Atau istilah persaudaraan Islam hanya didengung-dengungkan seandainya dibutuhkan saja?

Keengganan untuk menerima kebudayaan tempat tujuan

Sekarang para pengungsi yang sudah susah payah menyebrangi lautan dan ditampung di Belanda pun merasa kalo mereka boleh meminta lebih. Mereka sudah dapat tempat tinggal dan disediakan makanan gratis oleh pemerintah. Mereka sempat menolak makanan yang diberikan karena petugasnya tidak mengetahui apakah makan yang disediakan halal. Mereka meminta untuk diberikan makanan yang lain. Mereka juga mengeluh karena internet di tempat penampungan lamban dan tidak stabil. Mereka juga sempat berdemonstrasi untuk menuntut tempat tinggal yang lebih baik, karena tempat yang mereka punya sekarang membosankan, dingin, dan tidak ada privasi sehingga tidak bisa berhubungan seks dengan pasangan masing-masing.

Ketika mereka diterima di sini, sudah selayaknya mereka untuk hidup dengan norma-norma di Belanda. Mereka yang seharusnya hidup dengan peraturan yang sudah ditetapkan di sini dan bukan sebaliknya. Belum lagi mereka yang beragama Islam juga memiliki istri di bawah umur (berdasarkan peraturan Belanda) yang seandainya permohonan suaka mereka diterima, berhak untuk membawa istri tersebut ke Belanda. Ini juga hal yang sangat sulit diterima oleh penduduk asli Belanda.

Meskipun begitu, ketakutan dari orang Eropa ini juga tidak berdasar, karena selama ini sudah banyak pendatang masuk ke Eropa tapi tidak pernah mengganggu kebudayaan Eropa.

Islam

Pertanyaan terbesarnya adalah apakah inti dari masalah ini (baik penolakan dari penduduk asli dan juga bahkan perilaku kurang menyenangkan dari para pengungsi)? Apakah karena mereka beragama Islam? Bagaimana seandainya pengungsi itu tidak beragama Islam? Apakah akan lebih banyak negara yang akan membantu? Apakah mereka akan berperilaku lebih menyenangkan?

Tentunya (atau mungkin seharusnya?) tidak. Islam selalu dibanggakan sebagai agama yang penuh kasih. Hanya perilaku para penganutnya yang tidak menyenangkan. Tapi kalau seandainya hal-hal seperti ini terus terjadi, apakah benar ini karena para penganutnya dan bukan karena agamanya?

Pertanyaan yang (mungkin) tidak akan pernah terjawab

Kenapa orang-orang Indonesia yang beragama Islam sangat berpatokan kepada Arab, padahal orang-orang Arab sangat tidak “Islam” dalam berperilaku, baik penduduk ataupun pemerintahnya?

Kenapa para pengungsi itu bisa sampai berani untuk menuntut lebih dari negara yang sudah menampung para pengungsi tersebut?

Kenapa para pengungsi itu enggan untuk berintegrasi sepenuhnya dengan negara tempat mereka tinggal sekarang?

Apakah ungkapan “ukhuwah islamiyah” hanya dipakai hanya jika menguntungkan untuk yang mengucapkan?

Semoga suatu saat pertanyaan-pertanyaan ini bisa terjawab.